Spiritualisme Kaum Ateis
Banyak orang yang beriman kepada tuhan, tapi bahu-membahu mereka tidak beragama. Kenapa bisa demikian? Sejatinya, agama bukanlah duduk kasus wacana ketuhanan, sebuah konsep ajaib yang rumit dan berbelit-belit, tapi wacana kemanusiaan, aliran yang seharusnya mendarah daging dalam sejarah. Walaupun agama mengajarkan wacana ketuhanan, namun tuhan di sini dimengerti bukan sebagai kekuatan adikara yang ada di luar diri insan yang selalu mengawasi dan menggentayangi kita tapi sebagai daya hidup dan kekuatan pembebas dalam diri insan itu sendiri.
Akibat keterbatasan kita memahami tuhan yang sebenarnya, lebih sempurna ia didefinisikan sebagai tiada daripada ada. Kategori-kategori pengetahuan insan mengalami keterbatasan dalam mendefinisikan konsep tuhan yang transenden, sehingga pengertian tuhan selama ini dalam agama-agama Abrahamik lebih bisa disebut sebagai berhala ketimbang tuhan yang sebenarnya. BACA : RATAPAN ORANG PERCAYA DI PEMBUANGAN
Di sisi lain, tuhan yang dipersepsikan masyarakat, oleh Animisme Tylor dan Materialisme Feuerbach, telah ditelusuri bahwa daya – daya psikis dan kepribadian insan menjadi akar bagi munculnya konsep ketuhanan yang kemudian kita kenal pengertian-pengertiannya dalam agama primitif, agama dewa-dewi hingga agama Abrahamik. Tidak ada konsep ketuhanan yang bisa lepas dari bentuk dan model kepribadian manusia. Ketuhanan yang ada hingga sekarang, adalahproduk keterasingan insan yang hidupnya dirampok oleh kenyataan (Marx), atau proyeksi atribut kedirian insan ke dunia luar (Feuerbach).
Bukan insan sebagai gambaran tuhan, tapi gambaran insan ialah tuhan. Manusia ialah sentra agama, ia menjadi sumber moralitas. Tujuan dari segala tindakan moral sebesar-besarnya diarahkan demi kemanusiaan. Manusia ialah tujuan itu sendiri bukan alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Pengorbanan demi kemanusiaan menjadi ibadah pertama bahkan puncak tertinggi keutamaan (summum bonum), menyerupai dalam pengorbanan diri Yesus sebagai anak manusia, ialah pola keutamaan tertinggi dalam keberagamaan.
Manusia ialah alasan beradanya sejarah dan alam semesta. Keberadaan insan memilih eksistensi lain yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Manusia menjadi tujuan terciptanya sejarah dan alam semesta. Oleh lantaran itu, insan ialah fakta moral. Tubuhnya, darahnya, air matanya, keringatnya, perasaannya, kehendaknya, naluri instingnya, jiwanya, inderawinya, cita-citanya dan segala hal yang melekat secara inhern pada eksistensi insan menjadi materi diskursus moral.
Manusia merupakan alasan beradanya (raison d'etre) moralitas. Moralitas tidak perlu lagi didasarkan pada paham ketuhanan yang neurotik dan delusif. Ketuhanan tidak bisa menyatukan agama-agama yang berbeda-beda, lantaran banyak agama yang tidak mempunyai konsep ketuhanan, semisal agama totem, dan yang lainnya. Ketuhanan bukanlah elemen yang paling fundamental dari agama. Paham ketuhanan juga tidak bisa menyatukan umat manusia. Kesetaraan, persamaan, dan kebebasan didasarkan dalam tabiat diri insan itu sendiri, bukan di luarnya. Keadaan dan nasib umat insan dalam struktur dasar masyarakatlah yang menjadi asas persamaan dan kesetaraan dalam usaha sejarah.
Dunia telah menunjukkan bagaimana perbedaan paham ketuhanan membuat perselisihan, perang dan teror kemanusiaan yang hingga kini tidak kunjung berakhir. Yang menyatukan agama-agama bukanlah kepercayaan wacana ketuhanan, atau kewahyuan dan kitab suci, tetapi kemanusiaan yang luhur dan alamiah. Elemen fundamental dalam agama bukan terletak pada paham ketuhanannya yang otoritarian, tapi gambaran wacana insan yang terus menerus bersetubuh dengan dunia. Seandainya tuhan bukan lagi sentra agama, maka spiritualisme yang mewujud bersama sifat dan eksistensi ketuhanan sudah tidak bermakna lagi. LIHAT : AGAMA ADALAH CANDU
Mistisisme atau gairah spiritual tidak lagi mendasarkan pada pengalaman ketuhanan, tapi meresapi hakikat dan pengalaman kemanusiaan. Mistik gres bersumber dari hakikat kemanusian, bukan kegaiban dan ketuhanan. Menyatu dengan kehidupan insan jauh lebih menghidupi daripada menyatu dengan wujud tuhan. Menyentuh badan insan yang malang dan penuh derita sengsara merupakan dasar-dasar kenabian baru. Kenabian tidak lagi diturunkan dari wahyu dan atribut ketuhanan, melainkan dinubuwahkan melalui penautan diri dengan kehidupan para kaum pecundang yang terkalahkan oleh kenyataan. Di mana ada kemiskinan, kebodohan, keterasingan, dehumanisasi, atau eksploitasi, benih-benih kenabian akan berkecambah. Pentahbisan kenabian gres disematkan oleh rasa kemanusiaan. Meresapi penderitaan umat manusiamerupakan roh yang menghidupkan rantai kenabian secara terus menerus.
Kenabian gres (new prophecy) mengabarkan wacana era dan munculnya insan utama. Manusia yang berani mendepak tuhan dari tahta agama. Kenabian tidak lagi mengabarkan janji-janji tuhan wacana nirwana dan akhirat, tapi imperatif yang mendesak kita untuk berpetualang di dunia serta mengakibatkan semesta sebagai bukti kebenaran agama yang mendarah daging dengan manusia. Kenabian dan mistisisme gres tidak lagi meraba-raba dunia supranatural yang gaib, tetapi mencicipi nikmat siraman panas cahaya matahari di tengah jalanan, menahan beban derita lapar dan kekurangan, menggerakkan tangan dan kaki di tengah lumpur bebatuan, menarik secarik kertas berharga dengan memikul karung beras di pelabuhan, atau membusungkan dada di depan laras senjata kekuasaan yang korup dan otoritarian. Meresapi derita hidup insan merupakan impuls penggagas naluri mistik untuk menuju pengalaman puncak keberagamaan, yaitu turun dari langit perenungan ke tengah keramaian insan demi membangun kembali masyarakat dan negara, maka realisasi ibadah gaib yang paling utama ialah pengorbanan demi kehidupan umat manusia, menghidupi kehidupan. Oleh lantaran itu, insan dan alam raya dengan segala isinya ialah bahan-bahan nyata bagi pengalaman spiritual dan mistisisme baru.
Manusia yang mempunyai spiritualisme humanis akan melihat dirinya dalam angin yang melambai-lambai, pohon-pohon yang sedang bercengkerama, dinding-dindingyang berbisik, hewan-hewan yang mengajak bergurau atau sinar matahari yang menyemangatkan raga. Alam raya ialah gambaran diri manusia, semuanya menjadi potongan dari dirinya. Ketika insan melihat wajah alam, bahu-membahu ia sedang menyaksikan dirinya sendiri. Langit ialah dada manusia, air bumi ialah cucuran keringat kita, pohon-pohon ialah kaki-kaki kita, udara ialah nafas kita, dan seterusnyaa. Cukup dengan mengarahkan indera pada rerumputan atau langit biru, insan sudah bisa mencicipi kegembiraan dan ekstase yang meluap-luap. Salah satu ciri gaib yang remaja ialah gerak simplisitas dan kesederhanaannya, contohnya ekstase yang ditimbulkan intensi inderawi pada objek-objek alam dan makhluk hidup lainnya, tanpa harus menyepi, mengasingkan diri dan bertapa dari naluri insting kita. Mistik gres bukan mencari kesendirian dan perenungan, tapi bercampur ditengah keramaian dan mewujudkan diri dengan tindak material demi penyempurnaan essensi insan yang terdalam. Inderawi insan ialah sumber sensasi spiritual yang alamiah. Di sini, kita menolak ekstase yang ditimbulkan oleh intuisi ketuhanan yang bahu-membahu berakar dalam patologi yang neurotik dan delusif. Intuisi pewahyuan dan misitisisme ketuhanan merupakan verbal keberagamaan yang kekanak-kanakandan belum dewasa. TOPIK TERKAIT : YESUS, SANG GURU REVOLUSIONER YANG SOSIALIS!
Watak alamiah insan sebagai insting kreatif yang membentuk kebudayaan, ialah cikal bakal bagi munculnya agama, oleh lantaran itu budaya merupakan rembesan dari semangat keberagamaan, atau lebih ekstrim lagi budaya adalah agama itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, agama merupakan sistem kebudayaan yang dengannya insan bersikap, berhadapan dan memperlakukan kenyataan, ia membentuk pikiran, perasaan, tingkah laku, dan kesadaran individu-individu, penulis menyebutnya agama historis. Dengan mendefinisikan agama sebagai kebudayaan yang menyejarah, dan bukan lagi hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisik, tentu insan akan menjadi bahasan utama, lantaran budaya ialah sesuatu yang bersifat manusiawi. Dalam perspektif ini, budaya diartikan sebagai tindak acara insan yang dihasilkan bukan lantaran interaksi dengan dunia supranatural, juga bukan lantaran respon terhadap kabar pewahyuan. Yang membuat nilai dan budaya bukanlah wahyu melainkan manusia. Peradaban atau kebudayaan bukan dinamai peradaban tuhan atau nubuwwah tetapi peradaban manusia. Hubungan insan dengan budaya bukanlah korelasi dengan wahyu, tetapi korelasi dengan pemikiran dan tindakan yang dilaksanakan oleh manusia, (Adonis; 2007). Budaya juga berkaitan dengan daya-daya dan potensi alamiah manusia, lantaran peradaban atau budaya dihasilkan dari swa-cipta dan aktualisasi diri insan di tengah sejarah dan alam semesta. Kebudayaan ialah proses tumbuh kembang kedirian insan demi pemenuhan kebutuhan dasarnya sehingga mekar potensi-potensi alamiahnya yang terdalam.
Maka, meski seseorang telah beriman kepada tuhan, itu bukan jaminan bila ia beragama, lantaran ibadah yang bahu-membahu tidak lagi ditujukan pada tuhan tapi pada segala hal yang bersifat kemanusiaan. Kami menyebut jenis agama di atas sebagai agama kemanusiaan, agama tanpa wahyu, lawan dari agama pewahyuan yang mendasarkan ajarannya pada fundamen ketuhanan. Agama wahyu yang mengajarkan bahwa kehidupan insan hanya demi sebuah ibadah pada tuhan yang berdiri sendiri di luar, ialah tindak pengingkaran atas kemaanusiaan. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterasingan insan dari dirinya sendiri. Perwujudan agama ditentukan bukan seberapa besar rasa iman kita pada tuhan tetapi seberapa besar kita mengasihi dan mengorbankan diri demi kemanusiaan. Imperatif dasar dalam agama bukan ditopangkan pada wahyu yang delusional tapi pada cahaya batin dalam setiap individu manusia. Yang membedakan antara agama kemanusiaan dan agama wahyu adalah, yang pertama mengakibatkan insan sebagai sumber moral keutamaan, dan yang kedua meletakkan sumber moral dalam kepercayaan pada tuhan yang delusif dan neurotik sebagai asal-usul kebaikan. Yang pertama bersifat antroposentris dengan menopangkan moralitas pada asas kesadaran (consciousness) manusia, sedangkan yang kedua bersifat teosentris dengan mendasarkan moralitas pada wahyu ketuhanan yang muncul dari pikiran alam bawah sadar (unconscious mind) yang patologis, lantaran asal-usul wahyu mempunyai akar-akarnya dalam kekacauan psikologis (tesis ini bisa dilihat dalam potongan terakhir di buku Agama Skizofrenia).
Catatan penulis, tidak ada paham tengah yang disebut teo-antroposentris, lantaran ia tidak berpendirian dan tidak terang konsistensinya. Ketuhanan yang metafisik tidak bisa menjadi fakta moral. Kegaiban, magi, mana, tabu, kesucian, jin, dewa, setan, malaikat dan semisalnya, bukanlah bahan-bahan diskursus moral dan juga bukan elemen fundamental dari agama. Fakta moral harus dirumuskan dari asas dan elemen yang menjadi sumber dari segala sumber moralitas. Fakta moral harus berangkat dari realitas yang konkret, meski dari yang konkret ini nanti muncul metafisika dan falsafah moral. Maka, yang paling layak menjadi fakta moral ialah manusia, mulai dari tubuhnya, jiwanya, kehendaknya, instingnya, air matanya, hingga ujung jarinya yang terkecil. Akibatnya, metafisika dan falsafah yang muncul dari insan yang riil tersebut dinamai kemanusiaan. Disiplin ilmu-ilmu budaya atau humaniora (geisteswissenschaften) bersumber dari metafisika dan falsafah kemanusiaan ini.
Dalam diri manusialah, yang awal dan yang simpulan bertemu. Roh, setan, jin, malaikat, dewa-dewa bahkan tuhan, berasal dari kedirian manusia. Ia merupakan titik awal keberangkatan falsafah, ilmu pengetahuan, agama dan budaya, semuanya mengabdi demi manusia. Keabadian ada dalam kemanusiaan. Seluruh atribut-atribut alam raya melekat dalam eksistensi manusia. Jagat raya yang tak terbatas termampatkan dalam pikiran kita. Tidak ada yang lebih luhur selain manusia. Memang insan itu lemah dan kerdil, tapi tanpanya alam semesta tidak mempunyai makna. Manusialah sentra singularitas dan gravitasi semesta. Kelahirannya menjadi tujuan perjalanan evolusi sejarah dan alam semesta.
Cerita bahwa kaum Ateis tidak mempunyai moralitas dan rasa kemanusiaan, itu ialah mitos besar. Melabeli kaum anti-tuhan sebagai tidak mempunyai wawasan spiritual dan naluri kerohaniahan ialah pandir. Dalam membuatkan hal, ateisme justru merupakan tingkatan tertentu dalam pendakian puncak pengalaman keberagamaan. Sering pikiran skeptis seorang Ateis menjadi titik tolak bagi lahirnya pembaruan keagamaan. Buku ini berisi uraian lepas yang berusaha mengatakan dan meyakinkan kepada pembaca bahwa kaum Ateis yang selama ini dianggap sebagai orang yang tidak beragama, ternyata mempunyai denyut dan pesona mistisisme yang besar lengan berkuasa dan mengagumkan. Mereka, meski Ateis, mempunyai getaran semangat religiositas menyala-nyala, mengalahkan iman para agamawan yang penakut dan tidak memadai, lantaran tersihir kebun magis nirwana yang imajiner. Artikel Lainnya : ASAL USUL AGAMA
Mengapa para kaum Ateis banyak mengumandangkan komentar miring terhadap agama dan konsep ketuhanan yang sedang dianut oleh masyarakat pada waktu itu? Mereka menyerang agama, lantaran agama pada masanya dianggap gagal dalam melakukan kiprah yang seharusnya dilakukan. Mereka menafikan tuhan, bukan mereka tidak meyakini tuhan itu sendiri, tetapi menolak konsep atau formula ketuhanan yang dipercayai masyarakat pada ketika itu lantaran tidak bisa membebaskan kekuatan kreatif insan justru menjadi ruang pelarian dari kenyataan yang ada. Mereka Ateis disebabkan ketuhanan dan agama yang ada membunuh insting dan tabiat alamiah insan yang sebenarnya, atau malah memundurkan perilaku kritis dan budi yang seharusnya ditujukan pada realitas kebudayaan kita. Bagi mereka, agama dan ketuhanan harus diformulasikan kembali sesuai dengan semangat zamannya, lantaran bukannya makin memperhalus tabiat dan akal-budi manusia, malah membuat tenaga, pikiran dan mental kita tercerabut. Semakin insan men? sifati dirinya dengan tuhannya masyarakat, semakin ia tidak mempunyai kehidupan dan berkurang potensi-potensi alamiahnya. Keyakinan pada agama dan ketuhanan yang otoritarian akan memandulkan sifat kemanusiaan kita.
Karena agama berpusat pada manusia, tentu pengertian dan pemahaman kita yang memadai akan falsafah insan memilih bagaimana agama bisa bersetubuh dalam kenyataan dunia. Contohnya, pengertian insan utama (prime human) tidak lagi bisa dijelaskan dari perspektif tasawuf yang metafisik-spekulatif, semisal Insan Kamil dari Ibn Arabi yang membuktikan bahwa insan merupakan manifestasi atau tajalli tuhan, tapi tipe insan harus didefinisikan dari kegiatannya dalam dunia, dari tindakan materialnya atas sejarah atau semangat zamannya yang menghembuskan roh pada tubuh. Bagaimana kita bisa menghubungkan jenis insan ilahiah tersebut dengan realitas kontemporer, menyerupai dunia ilmu pengetahuan-teknologi dan industrialisasi yang sudah meninggalkan jauh era tasawuf yang primitif? Falsafah dan tasawuf Islam selama ini menjelaskan pengertian insan dalam term metafisik-spekulatif yang jauh dari realitas. Kita tidak bisa menatap masa depan dengan beling mata pengertian yang tak mempunyai cahaya dalam melihat realitas kekinian. Apabila pengertian insan ilahiah tersebut diyakini oleh sebagian besar umat islam, tentu akan membuat mereka terasing dari kenyataan sejarah. Definisi insan harus berangkat dari kenyataan, meskipun dalam perjalanan waktu, definisi ini akan selalu berubah sesuai dengan realitas sosial yang dinamis. Pengertian insan yang metafisik-spekulatif condong ahistoris, konstan dan tidak memadai dalam mendukung proses pembangunan dan pemekaran potensi-potensi alamiah insan di tengah pusaran kenyataan.
Ketidakmampuan kita dalam memberi makna eksistensi kita sebagai insan dalam pusaran kenyataan merupakan titik awal kematian insan sebagai subyek dan pengendali sejarah.
Sumber https://www.rastunarebel.com/